ATONIA UTERI
Disusun oleh :
Nama : Tis’i Niswati
Nim : 061.01.01.14
Kelas : B
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kegawatdaruratan ”Asuhan Persalinan Dan Bayi Baru
Lahir”
Dosen : Moudy E.U Djami, MKM.,M,Keb
AKADEMI
KEBIDANAN BINA HUSADA TANGERANG
TAHUN 2015
1.
Definisi
Atonia uteri adalah suatu kondisi
dimana miometrium tidak dapat berkonteraksi dan jika ini terjadi maka darah
yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Pada
kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika
uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu
dapat mengalami pendarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas tempat
melekatnya plasenta. Bila uterus berkonteraksi maka miometrium akan menjepit pembuluh
darah yang menyusup diantara miometrium.
Seorang ibu dapat meninggal karena
perdarahan pascapersalinan dalam waktu kurang dari 1 jam. Atonia uteri penyebab
lebih dari 90% perdarahan pascapersalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah
kelahiran bayi (ripley, 1999). Sebagaian besar kematian ibu akibat perdarahan
pascapersalinan terjadi pada beberapa jam pertama setelah kelahiran bayi (li,
et al, 1996). Karena alasan ini, penatalaksanaan persalinan kala III sesuai
standar dan penerapan manajemen aktif kala III merupakan cara terbaik dan
sangat penting untuk mengurangi kematian ibu. (JNPK-KR, 2012) [7]
2.
Kasus penelitian
Adapun penelitian tentang atonia
uteri: Perdarahan postpartum (PPH) merupakan penyebab penting dari kematian ibu
(MM) di seluruh dunia. 70 % dari PPH sesuai dengan atonia uteri. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia, 10,5% dari kelahiran hidup yang rumit dengan PPH,
dan laporan dari tahun 2000 menunjukkan bahwa perempuan menderita 13.795.000
akuntansi PPH untuk 13.200 kematian ibu. [2]
Diperkirakan bahwa 99%
kematian ibu di dunia terjadi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dan PPH
merupakan penyebab 1/4 sampai 1/3 dari kematian ini. Risiko kematian ibu dari
PPH lebih rendah di negara-negara maju (1: 100.000 kelahiran di Inggris)
dibandingkan dengan negara-negara berkembang (1: 16-1: 1.000 kelahiran). Tujuh
puluh persen dari PPH sesuai dengan atonia uteri, dan penyebab lain dari PPH
termasuk mempertahankan jaringan plasenta, trauma saluran genital, dan gangguan
koagulasi yang dapat menyajikan faktor [3] sebagai unik atau berkontribusi.
Selain itu, dampak dari PPH lebih besar pada hasil kehamilan ketika
menganalisis morbiditas ibu ketika mempertimbangkan 90% dari pasien yang
menderita PPH dan selamat. Pasien-pasien ini memerlukan perawatan yang sangat
khusus dan mahal selama pengiriman dan postpartum fase [4].
Tujuan : kohort pengiriman vagina dan pasien operasi
caesar dengan perdarahan postpartum berat sekunder atonia uteri. Penelitian ini
dirancang sebagai penelitian deskriptif, calon, membujur, dan multicenter, selama
10 bulan di 13 rumah sakit pendidikan. Hasil Jumlah kelahiran hidup selama masa
studi yang 124.019 dengan 218 pasien (0,17%) dengan perdarahan postpartum berat
(SPHH). Untuk jumlah tingkat kematian 3,6% dan tingkat MM dari 6,45 / 100.000
kelahiran hidup (LB). Kematian ibu yang berhubungan dengan terapi transfusi
yang tidak memadai.
Kesimpulan : Pada semua pasien dengan perdarahan berat
dan syok hipovolemik berikutnya, terapi yang paling penting adalah resusitasi
volume intravaskular, untuk mengurangi kemungkinan kerusakan organ target dan
kematian. Demikian pula, proposal saat terapi transfusi di titik perdarahan
berat atau besar untuk transfusi awal produk darah dan penggunaan plasma beku
segar, selain dikemas sel darah merah, untuk mencegah kematian ibu. Untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keparahan
perdarahan postpartum antara karateristik perempuan dan pengiriman mereka,
komponen manajemen perdarahan postpartum awal, dan karateristik organisasi unit
persalinan.
Metode : study kohort berbasis populasi ini termaksud
wanita dengan perdarahan postpartum karena atonia uteri setelah persalinan
pervaginam di 106 rumah sakit di perancis antara desember 2004 dan november
2006 ( N = 4,550). Parah perdarahan postpartum disefinisikan oleh perubahan
peripartum hemoglobin dari 4 gram/dL atau lebih. Sebuah model logistik
multivariabel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor independen terkaid
dengan keparahan perdarahan postpartum.
Hasil : berat perdarhan postpartum terjadi pada 952
wanita (20,9 %). Pada wanita dengan perdarahn postpartum, faktor independen
terkait dengan keparahan adalah:
a. Primipara
b. Perdarahan
c. postpartum
sebelumnya
d. seasar
e. pematangan serviks
f. persalinan
lama
g. episiotomi
h. menunda
dalam perawatan awal untuk perdarahan postpartum
adapun tingkat
keparahan yaitu administrasi oksitosin lebih dari 10 menit setelah diagnosis
perdarahan postpartum. (10-20 menit setelah proporsi dengan postpartum berat
perdarahan 24,6 % dibandingkan dengan 20,5% disesuaikan OR 1,38, 95 % Cl
1,03-1,85 lebih dari 20 menit setelah 31,8% dibandingkan dnegan 20,5%
disesuaikan OR 1,86, Cl 1,45-2,38 :2) pemeriksaan manual dari rongga rahim
lebih dari 20 menit setelah (proporsi dengan perdarahan postpartum berat 28,2%
dibandingkan 20,7% disesuaikan OR 1,83, 95% Cl 1,42-2,35) :3) meminta bantuan
tambahan lebih dari 10 menit setelah (proporsi dengan postpartum berat
perdarahan 29,8% dibandingkan 24,8%, disesuaikan OR 1,61, 95% CI 1,23-2,12
untuk dokter kandungan, dan 35,1% dibandingkan dengan 29,9%, disesuaikan OR
1.51, 95 % CI 1,14-2,00 untuk ahli anestesi); 4) dan pengiriman di rumah sakit
non-universitas negeri. Analgesik epidural ditemukan menjadi faktor protektif
terhadap kehilangan darah yang parah pada wanita dengan perdarahan postpartum.
Metodologi
Penelitian dilakukan
oleh
anggota Komite
Penelitian
dari American
Federation
Pusat
Asosiasi dan
Masyarakat
Obstetri dan Ginekologi
(Comin-FECASOG)
bekerjasama
dengan
dokter kandungan
internasional dan
asli Spanyol
berbicara
peneliti
(LR).
Studi inni melibatkan 13 lembaga yang berpartisipasi dari 6 negara, 1mei 2011 –
29 februari 2012 yaitu :
a. Guatemala
: Rumah
Sakit Umum San
Juan
de
Dios,
Rumah Sakit
Roosevelt
b. Honduras
: Rumah
Sakit Escuela,
Instituto
de
HondureƱo
Seguridad
Sosial,
c. El
Salvador :
Rumah Sakit
Nacional
de
Maternidad,
dan Rumah Sakit
de
San
Miguel,
Rumah Sakit
San
Rafael,
Rumah Sakit Primero
de
Mayo
d. Nikaragua
: Rumah
Sakit Berta
Calderon
Roque,
Rumah Sakit
Dr.
Oscar
Danilo
Rosales
e. Kosta
Rika : Rumah
Sakit Mexico,
Rumah Sakit de
las
Mujeres
f. Panama
: Complejo
hospitalario
de
la
Caja
de
Seguro
Sosial
g. kasus
Kasus
PPH
diklasifikasikan menurut
Benedetti
oleh tingkat
hemodinamik
kompromi
(1) sebagai berikut
:
1.
kelas I
(kehilangan
darah <15%,
tanpa
tanda-tanda atau
gejala
hemodinamik)
2.
grade
kehilangan
II
(volume
darah dari
20
-25%,
disertai
takikardia,
takipnea,
dan
hipotensi)
3.
grade
kehilangan
III
(volume
darah
30-35%,
ketika
tanda-tanda
sebelumnya
ditambahkan
ekstremitas
dingin dan
/
atau
oliguria)
4. grade
IV
(darah
penyusutan volume
≥40%
dan memiliki
segala sesuatu yang
dijelaskan sebelumnya
ditambah
diubah
sensorik.
Table dalam penelitian
ini adalah pasien
dengan atonia
uteri kehilangan
darah lebih dari
20%
dari
volume darah.
Informasi tentang
setiap pasien dicatat
dan
ditampilkan pada
Tabel
1.
Tabel
2:
Distribusi
perdarahan
postpartum
berat (atonia
uteri) oleh negara.
Negara
|
Kasus PPH
% Dari SPPH |
kelahiran
hidup
|
PPH per 1000 kelahiran hidup
|
Guatemala
|
29 (13,3%)
|
34.200
|
0,85
|
Honduras
|
79 (36,2%)
|
18.892
|
4,18
|
El Salvador
|
55 (25,2%)
|
36.774
|
1,49
|
Nikaragua
|
36 (16,5%)
|
20.870
|
1,72
|
Kosta Rika
|
8 (3,6%)
|
8.700
|
0.92
|
Panama
|
11 (5.0%)
|
4583
|
2,40
|
Total
|
218 (100%)
|
124,019
|
1.75
|
Kesimpulan
Perdarahan obstetri tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan kematian ibu. Persentase tertinggi kematian ibu terjadi pada periode postpartum langsung. Sekitar 75% dari perdarahan postpartum sekunder atonia uteri. Populasi pasien dalam penelitian kami memiliki tingkat yang lebih rendah perdarahan sekunder atonia uteri, dengan 0,17% dari semua kelahiran, bila dibandingkan dengan publikasi lainnya, seperti yang dilaporkan oleh kelompok Perancis, di mana pasien dievaluasi dari 106 rumah sakit, menunjukkan persentase yang lebih tinggi dari berat perdarahan postpartum (sekunder atonia uteri), 0,65% [5].
Perdarahan obstetri tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan kematian ibu. Persentase tertinggi kematian ibu terjadi pada periode postpartum langsung. Sekitar 75% dari perdarahan postpartum sekunder atonia uteri. Populasi pasien dalam penelitian kami memiliki tingkat yang lebih rendah perdarahan sekunder atonia uteri, dengan 0,17% dari semua kelahiran, bila dibandingkan dengan publikasi lainnya, seperti yang dilaporkan oleh kelompok Perancis, di mana pasien dievaluasi dari 106 rumah sakit, menunjukkan persentase yang lebih tinggi dari berat perdarahan postpartum (sekunder atonia uteri), 0,65% [5].
Di Inggris,
tingkat PPH ditemukan
6,7 / 1000
LB [12, 13].
Low et al.
di Honduras melaporkan 15% dari PPH kelahiran di daerah
pusat pedesaan [6].
Di skotlandia, laju perdarahan parah diperkirakan 3,7/1000 LB [7], lebih tinggi
dari yang dilaporkan dalam populasi penelitian kami.
Beberapa studi telah
mengidentifikasi beberapa faktor risiko
untuk atonia uteri seperti
:
a.
Polihidramnion
b.
makrosomia
janin
c.
kehamilan kembar
d.
penggunaan
inhibitor rahim
e. riwayat
atonia uteri
f. multiparitas,
atau persalinan lama
3. penatalaksanaan
atonia uteri
jika uterus tidak segera berkonteraksi
dalam 15 menit setelah dilakukan rangsangan taktil (massase) fundus uteri maka
patut di duga telah terjadi atonia uteri :
1.
segera lakukan kompresi bimanual
internal
a. pakai
sarung tangan steril, kemudian secara hati-hati memasukan satu tangan secara
obstetrik (menyatukan kelima hujung jari) melalui introitus ke dalam vagina.
b. Periksa
vagina dan serviks. Jika ada bekuan darah pada kavum uteri maka segera
keluarkan karena kondisi ini dapat menyebabkan uterus tidak dapat berkonteraksi
dengan efektif.
c. Setelah
melewati introitus dan berada di dalam vagina maka kepalkan tangan dalam dan
tempatnya pada forniks anterior. Dengan dataran jari-jari tangan dalam, tekan
dinding anterior segmen bawah ke arah tangan luar yang sedang mendorong dinding
posterior uterus ke arah depan sehingga uterus dijepit dari arah depan dan
belakang.
d. Aplikasikan
tekanan yang kuat pada uterus kedua tangan. Kompresi ini memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah yang berjalan diantara miometrium dan juga
merangsang miometrium untuk segera berkonteraksi.
e. Evaluasi
kebersihan
1. Jika
uterus berkonteraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan kompresi
bimanual internal selama 2 menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat selama kala IV.
2. Jika
uterus berkonteraksi tapi perdarahan masih berlangsung, periksa ulang perinium,
vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segera lakukan
penjahitan untuk menghentikan perdarahan.
3. Jika
uterus tidak berkonteraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual eksternal, kemudian lakukan langkah-langkah
penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya.
Jika penolong bekerja secara
berkelompok maka tidak perlu dilakukan tindakan kompresi bimanual eksternal
karena penolong dapat melanjutkan kompresi bimanual internal dan petugas lain
diminta untuk merangsang infus. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
Alasannya : atonia uteri seringkali
bisa diatasi dengan kompresi bimanual internal, jika KBI tidak berhasil dalam
waktu 5 menit maka diperlukan berbagai upaya lainnya.
2.
Berikan 0,2 mg ergometrium IM atau
misoprostol 600 mcg per rektal. Jangan berikan ergometrium kepada ibu dengan
hipertensi karena egometrium dapat menaikan tekanan darah.
3.
Gunakan jarum ,berdiameter besar (ukuran
16 atau 18), pasang infus larutan kristaloid untuk restorasi cairan secara
cepat dan berikan aksitosin 20 I.U . dalam 500 cc laruta ringer laktat dengan
kecepatan 30 tetes/menit
4.
Pakai sarung tangan steril kemudian
ulangi KBI
Alasan
: KBI dengan egometrium dan oksitosin akan membantu uterus berkonteraksi.
5.
Jika uterus tidak berkonteraksi dalam
waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu karena hal ini bukan atonia uteri
sederhana. Ibu membutuhkan tindakan gawatdarurat di fasilitas kesehatan rujukan
yang mampu melakukan tindakan operasi dan tranfusi darah.
6.
Sambil membawa ibu ke tempat rujukan,
teruskan pemberian infus dan uterotonika, juga KBI/KBE/kompresi aorta/tampon
kondom-kateter hingga ibu mencapai rujukan.
a. Jika
ibu pre-syok, ganti cairan darah yang hilang dengan kristaloid 1000ml dalam 15
menit pertama. Jika syok, berikan kristaloid 1500-2000 ml dalam 15 menit
pertama.
b. Berikan
tambahan 750-1500 ml ( tergantung kondisi ibu) dalam 30-45 menit berikutnya.
Jika setelah itu ternyata belum sampai di tempat rujukan maka lanjutkan dengan
jumlah yang sama untuk 45-60 menit berikutnya
c. Pemberian
cairan restorasi pada jam kedua dan selanjutnya harus dikombinasi dengan koloid
dengan perbandingan 3:1. Jika konsentrasi hemoglobin darah ibu berada dibawah 6
g% maka ibu memerlukan tambahan transfusi darah.
Gambar 1 : kompresi bimanual internal
Kompresi bimanual eksternal
1.
Letakan salah satu tangan didinding
abdomen, di dinding depan korpus uteri dan di atas simfisis pubis
2.
Letakan tangan lain pada dinding abdomen
dan dinding belakang korpus uteri, sejajar dengan dinding depan korpus uteri.
Usahakan untuk mencakup/memegang bagian belakang uterus seluas mungkin
3.
Lakukan kompresi uterus dengan cara
saling mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuluh darah di dalam
anyaman miometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini dapat mencepit
pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk berkonteraksi.
Gambar
2 : kompresi bimanual eksternal
Kompresi aorta abdominalis
1.
Lakukan perabahan palpasi arteri
femoralis yang berada pada perbotongan garis imajiner yang melalui tepi atas
simfisis dan lipat paha (inguinal)
2.
Setelah ditemukan maka sisihkan uterus
ke arah bawah (simfisis), kemudian tekan umbilikus dengan tangan lain yang
membentuk tinju hingga mencapai dataran depan kolumna vertebralis.
3.
Jika pulsasi arteri femoralis melemah
atau hingga maka kompresi aorta abdominalis berjalan efektif. Jika belum hilang
maka geser permukaan jari-jari yang mencakup aorta abdominalis ke kiri atau
kanan hingga pulsasi arteri femoralis terhenti dan pertahankan hingga
konteraksi membaik dan perdarahan berhenti.
Gambar
3 : kompresi aorta abdominalis
Referensi :
1. T.
Benedetti, “Obstetric haemorrhage,” in A Pocket Companion to Obstetrics, S. G.
Gabbe, J. R. Niebyl, and J. L. Simpson, Eds., chapter 17, Churchill
Livingstone, New York, NY, USA, 4th edition, 2002. View at Google Scholar
2. M. J. Cameron
and S. C. Robson, “Vital statistics: an overview,” in A Textbook of Postpartum
Hemorrhage. A Comprehensive Guide to Evaluation, Management and Surgical
intervention, C. B-Lynch, L. G. Keith, A. B. Lalonde, and M. Karoshi, Eds., pp.
17–34, Sapiens Publishing, 1st edition, 2006. View at Google Scholar
3. M. Karoshi
and L. Keith, “Challenges in managing postpartum hemorrhage in resource-poor
countries,” Clinical Obstetrics and Gynecology, vol. 52, no. 2, pp. 285–298,
2009. View at Publisher · View at Google Scholar · View at Scopus
4. G. Carroli,
C. Cuesta, E. Abalos, and A. M. Gulmezoglu, “Epidemiology of postpartum
haemorrhage: a systematic review,” Best Practice and Research: Clinical
Obstetrics and Gynaecology, vol. 22, no. 6, pp. 999–1012, 2008. View at Publisher
· View at Google Scholar · View at Scopus
5. M. Driessen,
M.-H. Bouvier-Colle, C. Dupont, B. Khoshnood, R.-C. Rudigoz, and C.
Deneux-Tharaux, “Postpartum hemorrhage resulting from uterine atony after
vaginal delivery: factors associated with severity,” Obstetrics and Gynecology,
vol. 117, no. 1, pp. 21–31, 2011. View at Publisher · View at Google Scholar ·
View at Scopus
6. L. K. Low,
J. M. Bailey, E. Sacks, L. Medina, and H. O. L. PiƱeda, “Postpartum hemorrhage
prevention: a case study in northern rural honduras,” Journal of Midwifery and
Women's Health, vol. 53, no. 1, pp. e1–e6, 2008. View at Publisher · View at
Google Scholar · View at Scopus
7. V. Brace, D.
Kernaghan, and G. Penney, “Learning from adverse clinical outcomes: major
obstetric haemorrhage in Scotland, 2003–2005,” BJOG, vol. 114, no. 11, pp.
1388–1396, 2007. View at Publisher · View at Google Scholar · View at Scopus
8. JNPK-KR, “Asuhan
Persalinan Normal Dan Asuhan Esensial Bagi Ibu Bersalin Dan Bayi Baru Lahir
Serta Penatalaksanaan Komplikasi Segera Pasca Persalinan Dan Nifas,”jaringan
basional pelatihan klinik kesehatan reproduksi, tahun 2012